Zlatan Ibrahimovic: Guardiola Pengecut, Mourinho Hebat - MadridOne
Headlines News :
Home » , » Zlatan Ibrahimovic: Guardiola Pengecut, Mourinho Hebat

Zlatan Ibrahimovic: Guardiola Pengecut, Mourinho Hebat

Written By Unknown on Minggu, 08 September 2013 | 9/08/2013

Zlatan Ibrahimovic: Guardiola Pengecut, Mourinho Hebat

Zlatan Ibrahimovic adalah sosok pemain yang berbakat, kontroversial dan kadang juga sulit dimengerti. Tak bisa dibantah bahwa Zlatan adalah salah satu pemain terbaik dalam generasinya.

Zlatan sudah mencetak buku biografinya yang berjudul I Am Zlatan Ibrahimovic. Banyak sekali pemikiran menarik, gelap, dan kadang brutal yang dituangkan Zlatan dalam buku itu.

Berikut adalah petikan pendapat Zlatan mengenai dua sosok pelatih hebat yang pernah menanganinya; Jose Mourinho dan Josep Guardiola. Jika anda adalah penggemar Guardiola, kemungkinan besar anda akan sakit hati membaca penilaian Zlatan ini. Petikan buku Zlatan ini dimuat di The Daily Mail.

Jose Mourinho

Zlatan Ibrahimovic: Guardiola Pengecut, Mourinho Hebat
 
Jose Mourinho adalah bintang besar dan dia menjadi manajer saya di Inter. Dia sosok yang baik. Ketika pertama dia bertemu pasangan saya Helena, dia berbisik kepada Helena, 'Helena, sekarang kamu cuma punya satu misi: beri makan Zlatan, beri dia cukup tidur dan buat dia selalu bahagia.' Orang itu berkata sesukanya dan saya menyukainya. Dia adalah pemimpin dari pasukannya. Tapi dia juga peduli. Dia selalu mengirim pesan singkat kepada saya ketika di Inter, bertanya keadaan saya. Dia adalah kebalikan dari Pep Guardiola.
Jika Mourinho menerangi ruangan, maka Guardiola yang akan menutup tirai dan menjadikannya gelap. Saya rasa Guardiola berusaha menjadi pasangan sempurna bagi Mourinho.

Mourinho adalah orang yang bisa membuat saya rela mengorbankan nyawa saya.

Pada 2008, saya diberitahu bahwa manajer baru saya di Inter, Mourinho, akan menelepon saya. Saya lalu berpikir: 'Memangnya apa yang terjadi?'

Ternyata dia cuma mau mengatakan: 'Akan menyenangkan karena kita akan bekerja bersama, saya sudah tak sabar bertemu denganmu'. Tak ada hal besar, tapi dia mengatakannya dalam Bahasa Italia. Saya sungguh tak mengerti. Mourinho belum pernah melatih tim Italia tapi dia sudah bisa bicara dalam Bahasa Italia lebih bagus dari saya. Dia cuma butuh waktu tiga minggu untuk fasih berbahasa Italia. Saya akhirnya tak bisa mengikuti perkembangannya. Kami lalu bicara dalam Bahasa Inggris dan saat itu saya mulai mengerti bahwa orang ini ternyata peduli. Saya mendapatkan pesan pendek setelah membela Swedia melawan Spanyol.

'Kamu bermain bagus', tulisnya. Lalu dia memberi saya beberapa nasehat dan saya sampai berhenti dari latihan yang sedang saya lakukan. Saya belum pernah mendapatkannya sebelumnya. Sebuah pesan singkat dari pelatih! Saya bermain bagi timnas Swedia yang tak ada hubungannya sama sekali dengan Mourinho. Tetap saja, dia ingin terlibat. Saya merasa dihargai.

Tentu saya tahu dia mengirim pesan itu dengan sebuah tujuan. Dia menginginkan kesetiaan saya, tapi saya langsung menyukainya. Dia bekerja dua kali lebih keras dari yang lain. Dia hidup dan bernapas untuk sepakbola 24/7. Saya sebelumnya belum pernah bertemu dengan manajer yang pengetahuannya mengenai calon lawan begitu menyeluruh. Mourinho tahu semuanya, bahkan sampai ke ukuran sepatu kiper ketiga lawan.

Sebelum bertemu dia, saya sudah tahu bahwa Mourinho adalah orang yang elegan dan percaya diri, tetapi saya tetap dibuat terkejut. Fisik Mourinho terlihat kecil ketika ada di samping para pemain, tapi saya bisa segera merasakannya; ada semacam aura di sekitar Mourinho.

Dia menyuruh semua orang berbaris, dia langsung mendekati para pemain yang sebelumnya merasa tak tersentuh di klub. Dia berdiri di depan mereka, tingginya hanya sebatas pundak para pemain itu. Mourinho tidak berusaha menjilat para pemain itu dan langsung mengatakan maksudnya. 'Mulai sekarang, kalian semua akan melakukannya seperti ini.' Bisakah anda bayangkan?! Semua orang lalu mendengarkannya. Mereka tak mempertanyakan apa maksud ucapan Mourinho. Tapi mereka diam bukan karena takut. Mourinho bukan Fabio Capello yang merupakan manajer setan.

Mourinho menciptakan ikatan personal dengan semua pemain melalui pesan singkat sera pengetahuannya tentang istri dan anak-anak kami. Dia juga tak pernah berteriak.

Dia membangun motivasi kami menjelang pertandingan. Rasanya seperti menjalani teater, sebuah permainan psikologi. Dia bisa menunjukkan video saat kami bermain buruk dan mengatakan: 'Mengenaskan! Payah! Para pemain ini tak mungkin kalian. Mereka pasti saudara kalian atau sisi lemah kalian.' Kami hanya mengangguk saja karena malu.

'Saya tak ingin melihat kalian bermain seperti itu lagi. Pergi ke lapangan seperti singa-singa lapar.'

'Dalam pertarungan pertama kalian akan seperti ini...' dia memukulkan tinjunya ke telapak tangan satunya. 'Dan dalam pertarungan kedua...' dia menendang papan taktik hingga terbang melintasi ruangan. Adrenalin kami langsung bekerja dan kami keluar ke lapangan seperti binatang buas yang gila.Saya semakin tahu orang ini selalu memberikan segalanya untuk tim, jadi saya ingin memberikan segalanya untuk dia. Semua pemain rela membunuh untuk Mourinho.

Hanya ada satu hal yang mengganggu saya: tak peduli apa pun yang saya lakukan, tak pernah ada sedikit pun senyum dari wajahnya.

Saya melakukan banyak hal-hal hebat, tapi wajah Mourinho tetap saja seperti akhir pekan kelabu. Suatu ketika kami melawan Bologna dan saya mencetak gol yang benar-benar gila. Gol itu kemudian terpilih menjadi gol terbaik. Mourinho hanya berdiri saja dengan wajah membatu.

What the hell? Apa yang salah dengan orang ini? Jika dia tidak bereaksi terhadap hal-hal hebat seperti itu, apa yang bisa membuatnya berubah? Apa pun caranya, saya bertekad untuk membuat orang itu gembira. Akhirnya hal itu terwujud tapi hanya terjadi ketika kami sudah memenangkan gelar Serie A dan saya menjadi top skorer.
Mourinho, orang dengan wajah batu, orang yang tak pernah peduli, akhirnya terbangun. Dia seperti orang gila. Dia bersorak seperti anak sekolah, meloncat-loncat dan saya tersenyum. 'Jadi saya bisa membuatmu tersenyum, akhirnya. tapi hal itu butuh perjuangan berat.'

Josep Guardiola

Zlatan Ibrahimovic: Guardiola Pengecut, Mourinho Hebat
 
Setelah kekalahan Barca dari Inter di semifinal Liga Champions, Josep Guardiola memandang saya seolah semua itu terjadi karena kesalahan saya. Saya berpikir: 'cukup sudah. Saya bermain untuk yang terakhir kalinya.' Setelah pertandingan itu, saya merasa tidak diinginkan lagi di Barca. Saya merasa seperti sampah ketika duduk di ruang ganti. Guardiola melirik saya seolah saya adalah sebuah gangguan, seperti alien. Situasi itu benar-benar gila.
Guardiola adalah tembok bata. Saya tak melihat tanda-tanda kehidupan darinya, dan setiap saat saya berharap bisa keluar dari klub. Saya tak lagi menjadi bagian mereka. Ketika kami bertanding ke markas Villarreal, Guardiola memberi saya waktu bermain selama lima menit. Saya sangat sedih, bukan karena saya dicadangkan. Saya bisa menerima jika pelatih mencadangkan saya asal sang pelatih cukup jantan untuk mengatakan: 'Kamu tak cukup bagus Zlatan. kamu tak pantas masuk ke starting line-up.'

Guardiola tidak mengatakan apa pun, tidak sedikit pun, dan saya sudah muak. Saya bisa merasakannya di sekujur tubuh saya, dan jika saya jadi Guardiola, saya akan takut. Bukan karena saya sedikit terampil dengan tinju saya! Saya sudah melakukan semua hal buruk, tetapi saya jarang terlibat perkelahian. Baiklah, mungkin saya beberapa kali menghajar beberapa orang. Ketika saya marah dan jadi kalap, anda tak akan mau berada di dekat saya.

Saya masuk ke ruang ganti setelah pertandingan dan saya tidak merencanakan serangan apa pun. Tapi saya juga tidak gembira. Saat itu musuh saya berdiri di sana, menggaruk-garuk kepalanya.

Yaya Toure juga di sana, juga ada beberapa pemain lain. Ada sebuah kotak logam tempat kami menaruh jersey setelah pertandingan; saya pandangi kotak itu. Lalu saya menendangnya, kotak itu terbang sekitar tiga meter tapi kisruh itu belum selesai. Malah sebenarnya baru saja dimulai. Saya berteriak kepada Guardiola: 'Kamu tak punya nyali!' Lalu saya menambahkan yang lebih buruk: 'kamu seperti kencing di celana ketika menghadapi Mourinho. Kamu bisa pergi ke neraka!'
Saya benar-benar kehilangan kendali. Orang mungkin mengira Guardiola akan berkata sesuatu untuk membalas, tapi dia adalah pengecut payah. Dia cuma mengambil kotak logam itu seperti petugas kebersihan lalu pergi. Dia tak pernah menyinggung kejadian itu lagi, tidak satu kata pun.

Yang ada hanya diam dan permainan pikiran dan saya sadar bahwa saya sudah berusia 28 tahun. Saya sudah mencetak 22 gol dan menciptakan 15 assist di Barca tetapi masih diperlakukan seperti tidak pernah ada. Apakah saya harus duduk saja dan menerimanya? Apakah saya harus terus mencoba beradaptasi? No way!

Ya, saya memang sudah mencoba beradaptasi. Ketika tiba di Barcelona, mereka mengatakan saya tak boleh naik jet pribadi dan harus naik penerbangan komersial. 'Di Barcelona kami semua berusaha untuk tetap rendah hati. Kami tidak seperti Real Madrid. Kami melakukan perjalanan dengan pesawat biasa.' mereka memberi penjelasan dan itu terdengar masuk akal.

Lalu ada beberapa hal lain. 'Dengar, kita tidak akan datang ke tempat latihan dengan mengendarai Ferrari atau Porsche,' ucap Guardiola. Saya mengangguk saja. Sebenarnya saya ingin berkata: 'Apa urusanmu dengan mobil yang kukendarai?' Namun pada saat itu saya sibuk berpikir pesan apa yang coba disampaikan Guardiola.

Saya memang menyukai mobil. Mobil adalah hasrat saya dan akhirnya saya bisa mengerti makna dari kata-kata Guardiola tentang mobil itu kepada saya: 'Jangan berpikir kamu adalah sosok spesial!'

Saya mulai merasa ke Barcelona seperti kembali ke Ajax, rasanya seperti kembali ke sekolah. Tak ada satu pun pemain yang berkelakuan seperti superstar, dan itu aneh. Messi, Xavi, Iniesta, dan semuanya... mereka semua seperti anak sekolah. Para pemain terbaik dunia berdiri di sana dengan kepala tertunduk. Saya tidak bisa mengerti sedikit pun. Semua itu konyol.

Semua orang melakukan apa saja yang diperintahkan kepada mereka. Saya tidak cocok di sana, tidak sedikit pun. Saya memaksa diri untuk sekadar memanfaatkan kesempatan di sana, dan tidak membuat anggapan buruk mereka terhadap saya jadi nyata. Jadi saya mulai beradaptasi dan berusaha menyatu. Saya menjadi terlalu 'manis' dan itu gila.

Saya mengatakan apa yang mereka ingin saya katakan. Semuanya kacau. Saya mengendarai Audi yang merupakan sponsor Barca dan berdiri saja di sana lalu mengangguk. Saya bahkan nyaris tak pernah berteriak kepada rekan setim saya. Sangat membosankan. Zlatan bukan lagi Zlatan.

Lalu Messi mulai banyak bicara. Messi itu hebat. dia benar-benar amazing. Tapi dia juga mengatakan kepada Guardiola: 'Saya tak mau bermain di sayap kanan lagi. Saya mau bermain lebih ke tengah.' Saat itu saya adalah penyerang Barca. Guardiola sama sekali tak peduli kepada saya.

Guardiola lalu mengorbankan saya, itulah kenyataannya. Salah satu teman saya mengatakan: 'Zlatan, Barca seperti membeli Ferrari tapi mengendarainya seperti Fiat'. Saya lalu berpikir, 'Ya, itu cara yang tepat untuk mengungkapkannya.' Guardiola mengubah saya menjadi pemain yang lebih simpel dan lebih buruk. Hal itu adalah kerugian bagi seluruh tim.

Guardiola bahkan tidak mengucapkan selamat pagi kepada saya. Tidak sepatah kata pun. Dia menghindari kontak mata dengan saya. Jika saya masuk ke sebuah ruangan, dia akan pergi. 'Apa yang terjadi? Apakah saya berbuat salah? apa penampilan saya terlihat salah? Apa cara bicara saya aneh?' semua itu berkecamuk di dalam kepala saya. Saya tak bisa tidur.

Saya terus memikirkannya, bukan karena saya butuh cinta Guardiola. Dia boleh membenci saya, saya tak akan keberatan. Kebencian dan dendam hanya akan memacu saya. Saat itu saya kehilangan fokus.

Dia berpikir bisa mengubah saya. Di Barca-nya, semua orang harus jadi seperti Xavi, Iniesta atau Messi. Tak ada yang salah dengan semua pemain itu, seperti yang pernah saya katakan, tak ada yang salah sedikit pun. Rasanya menyenangkan bisa bergabung dalam satu tim dengan mereka. Pemain-pemain bagus membuat saya bersemangat.

Namun saya juga datang dengan seluruh karakter saya dan di Barca karakter saya tidak memiliki tempat. Tidak di dunia kecil Guardiola.

Ketika saya tahu saya akan duduk di bench dalam pertandingan melawan Almeria, saya jadi ingat kata-kata Guardiola: 'Di Barcelona kita tidak akan datang ke tempat latihan dengan mengendarai Ferrari atau Porsche.' Omong kosong apa lagi itu? Saya akan membeli mobil yang saya suka, biar pun saya jadi terlihat seperti idiot. Saya lalu masuk ke Ferrari Enzo, menginjak gas dan memarkir mobil itu di depan pintu masuk markas latihan.

Saya memutuskan untuk bertarung demi diri saya, dan anda harus tahu bahwa saya sudah paham caranya bermain dalam pertarungan semacam itu. Saya sudah menjadi petarung sebelumnya, percayalah. Saya tak boleh melakukan persiapan dengan buruk jadi saya bicara dengan agen saya. Kami selalu merencanakan trik kami bersama, baik itu trik cerdas atau trik kotor. Saya juga menghubungi teman-teman saya.

Saya hanya ingin melihat segalanya dari perspektif yang berbeda, dan demi Tuhan saya mendapat semua perspektif yang saya butuhkan.

Anak-anak Rosengard (kampung halaman Zlatan) ingin datang ke Barcelona dan menghancurkan kantor klub. Mereka memang teman-teman yang baik. Namun tindakan itu sepertinya bukan strategi yang tepat jika melihat situasi yang terjadi.

Saat malam, ketika saya terbaring tapi terjaga, atau saat berlatih dan melihat Guardiola, sisi gelap saya terbangun. Kemarahan itu masuk begitu saja ke kepala saya.

Karena masalah Guardiola itu, pihak klub terpaksa mengalami bencana transfer untuk menjual saya, dan itu gila. Saya mencetak 22 gol dan 15 assist dalam semusim di Barcelona. Tapi nilai saya turun 70 persen. Salah siapa itu coba? Guardiola! Si pendiam kecil yang terlalu banyak berpikir. Dia mencoba merusak saya.
Share this article :

0 komentar :

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

CR7 Twitter

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. MadridOne - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger